Jumat, 08 Agustus 2008

Awal Perjuangan Kemerdekaan Indonesia


Perjuangan Awal Kemerdekaan Indonesia (1945-1949)Nov 10, '07 2:41 AM
for everyone
Pendahuluan

Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah buah perjuangan yang telah dilakukan para pendiri bangsa. Kemenangan yang diraih bukanlah milik satu golongan saja, tetapi merupakan kemenangan dan kemerdekaan segenap elemen bangsa. Para pendiri bangsa saat itu sudah berani mengambil resiko perjuangan yang akan mereka terima. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, bukan berarti perjuangan telah selesai. Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Indonesia akan mengalami fase perjuangan selanjutnya yakni upaya perebutan kekuasan dan pengakuan kedaulatan dari negara lain.

Indonesia yang sudah memproklamirkan kemerdekaannya tidak serta merta bebas dari belenggu penjajah Jepang saat itu. Belum lagi masuknya kekuatan asing lain yang masuk ke wilayah Indonesia. Masa perjuangan awal kemerdekaan Indonesia setelah proklamasi diwarnai dengan berbagai pertempuran dan bentrokan antara pemuda-pemuda Indonesia melawan aparat kekuasaan Jepang. Tujuannya adalah untuk merebut kekuasaan dan memperoleh senjata. Di berbagai daerah terjadi pertempuran. Pergolakan yang terjadi terus meletus tidak hanya di pusat kekuasaan (Jakarta), tetapi terus melebar dan meluas di berbagai daerah lannya yang tidak hanya melawan penjajah Jepang, namun melakukan perlawanan kepada siapapun yang menghalang-halangi kemerdekaan Indonesia.[1]

Rapat Raksasa di Lapangan Ikada

Para pemuda yang dipelopori oleh Komite van Aksi Menteng 31[2] merencanakan pengerahan massa yang untuk pertama kali mempertemukan pemimpin RI (setelah proklamasi) dengan rakyatnya. Pertemuan itu dimaksudkan untuk membuktikan dukungan rakyat terhadap pemimpinnya serta sebagai upaya awal pengakuan kedaulatan dan harga diri Indonesia sebagai bangsa yang merdeka. Cara yang dilakukan pemuda itu adalah dengan mempersiapkan pengerahan massa dan menyampaikan rencana tersebut kepada presiden. Pada intinya, pemerintah tidak mempermasalahkan pelaksaan acar tersebut. Akan tetapi yang ditakutkan adalah respon penjajah Jepang saat itu. Jika acar tersebut dilakukan, pemerintah mengkhawatirkan akan terjadinya bentrokan antara aparat Jepang dengan massa aksi. Untuk mengantisipasi masalah tersebut, pemerintah mengadakan sidang kabinet yang diadakan di kediaman presiden pada 19 September. Rapat itu berlangsung hingga dinihari dan dilanjutkan lagi pagi harinya di Lapangan Banteng Barat. Pembicaraan tersebut juga dihadiri oleh para pemimpin pemuda.[3] Para pemuda bersikeras agar acara tersebut tetap diadakan karena massa sudah berbondong-bondong menghadiri Lapangan Ikada untuk mendengarkan pidato dari pemimpinnya. Situasi tegang terjadi saat itu karena penjagaan ketat dari aparat bersenjata Jepang. Selain itu, massa aksi banyak yang membawa senjata tajam. Acara tetap dilakukan dengan pidato Bung Karno. Dalam pidatonya, Bung Karno meminta kepercayaan dan dukungan rakyat kepada Pemerintah. Ia mengharapkan rakyat dapat mematuhi perintah dan disiplin. Setelah acara selesai, massa diperintahkan untuk membubarkan diri dengan tenaang. Perintah itu akhirnya ditaati oelh massa yang meninggalkan rapat raksasa dengan tertib tanpa kerusuhan. Walaupun pidato Bung Karno berlangsung sangat singkat, namun berhasil mempertemukan Pemerintah Republik Indonesia dengan rakyatnya. Rapat raksasa 19 September 1945 adalah momen pertama yang menunjukkan kewibawaan Pemerintah Republik Indonesia terhadap rakyatnya.

Perebutan kekuasaan di beberapa daerah

Semangat revolusioner kemerdekaan bukan hanya terjadi di Jakarta yang notabene adalah pusat kekusaan Republik Indonesia. Di berbagai daerah juga terjadi hal demikian. Perebutan kekuasaan di beberapa daerah bahkan terjadi bentrokan fisik dan konfrontasi senjata.

Di Yogyakarta terjadi aksi pemohokan pegawai perusahaan-perusahaan yang dikuasai oleh Jepang. Perebutan kekuasaan secara serentak dimulai pada tanggal 26 September 1945 sejak pukul 10 pagi. Massa memaksa orang-orang Jepang untuk menyerahkan semua kantor perusahaan mereka kepada Indonesia. Sehari setelah itu, pada tanggal 27 September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta mengumumkan bahwa kekuasaan di daerah itu telah berada di tangan Republik Indonesia.[4]

Di Bandung, dilakukan upaya merebut pangkalan Udara Andir dan pabrik senjata bekas ACW (Artillerie Constructie Winkel). Upaya tersebut berlangsung hingga kedatangan pasukan Serikat di Bandung pada tanggal 17 Oktober 1945.

Di Banda Aceh, para pemuda dan tokoh masyarakat membentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API) pada tanggal 6 Oktober 1945. Namun pada tanggal 12 Oktober 1945, Jepang memanggil para pemimpin gerakan itu untuk dan menyatakan bahwa walaupun Jepang telah kalah, semua kegiatan pendirian organisasi dan perkumpulan harus meminta izin kepada Jepang. Bila hal itu tidak dilakukan maka perkumpulan itu akan dibubarkan. Hal itu memicu pertentangan dari para pemuda dan masyaraat. Akhirnya perlawanan mereka meluas dengan dilakukannya perebutan kantor-kantor Jepang dan pelucutan senjata militer Jepang.[5]

Secara umum, perlawanan terjadi di berbagai daerah lainnya seperti di Bali, Sumatera Selatan, Gorontalo, Kalimantan, Sulawesi Utara, dll. semua perlawanan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk melakukan perebutan kekuasaan Indonesia terhadap pemerintah kolonial.[6] Rakyat Indonesia telah lama merindukan kemerdekaan dari segala bentuk penindasan dan penderitaan. Dan sudah saatnya mereka mendapatkan hak kemerdekaan yang telah mereka idam-idamkan.

Pertempuran Surabaya

Surabaya sebelum perang memang sudah menyimpan kerawanan konflik yang besar. Di kota ini banyak berdiri Laskar rakyat dan BKR[7] yang sangat bersemangat dalam rangka kemerdekaan Indonesia dan usaha untuk mempertahankannya. Ketegangan di Surabaya semakin meningkat dengan pendaratan Sekutu yang mempunyai agenda untuk mempertahankan status quo. Dengan adanya tentara Sekutu maka perang adalah suatu hal yang tidak terelakan.

Berawal dari tewasnya Brigjen Mallaby yang mengakibatkan Mayjen Mansergh mengeluarkan ultimatum kepada rakyat Surabaya yang menyatakan agar rakyat Surabaya datang ketempat yang telah ditentukan selambat-lambatnya tanggal 9 November 1945 pukul 18.00 dengan membawa bendera putih dan senjata. Apabila tidak dipenuhi maka pasukan Inggris akan menggunakan kekuasaan angkatan laut, udara, dan darat.

Apa yang diperhitungkan oleh pihak TKR betul-betul terjadi pada tanggal 10 November 1945 pagi hari sekali, pesawat-pesawat tempur Sekutu melayang-layang di udara kota Surabaya. Suara-suara ledakan terdengar keras sekali di bagian utara kota Surabaya. Sudah dapat dipastikan bahwa tentara Sekutu benar-benar memenuhi bunyi ultimatumnya dengan mengerahkan segenap angkatan perangnya untuk menghancurkan Surabaya. Tembakan-tembakan dari darat, laut, maupun udara menggempur kota tiada henti-hentinya. Namun rakyat, TKR, dan seluruh badan perjuangan bersenjata telah bersatu padu untuk mempertahankan kota Surabaya dari gempuran balasan tentara Inggris. Maka pecahlah perang antara pasukan TKR bersama laskar rakyat melawan pasukan Inggris. Perang ini lebih dikenal dengan “Perang 10 November 1945”.

Pasukan TKR menerapkan stategi yang telah direncanakan, yaitu mempertahankan kota Surabaya dengan tidak memberikan kesempatan pasukan Inggris untuk menguasai tiap-tiap jalan atau pun gedung-gedung. Hampir setiap sudut kota Surabaya telah dipertahankan oleh pasukan TKR dengan mati-matian.

Sebetulnya taktik yang direncanakan dalam melawan pasukan Inggris dengan melaksanakan perang kota telah dilakukan dengan sempurna oleh pasukan TKR dan laskar rakyat Surabaya. Tetapi ada yang diluar perhitungan, jumlah pasukan Inggris berlipat ganda dan jauh lebih besar daripada ketika dikomandoi oleh Brigjen Mallaby, bahkan taktiknya berubah sama sekali.

Dulu sewaktu Mallaby sebagai komandannya, pemusatan-pemusatan pasukan Inggris lebih banyak terlihat, karena mereka berangapan bahwa kekuatan TKR dan laskar rakyat sangat kecil. Perhitungan yang meleset itu menimbulkan dampak kehancuran bagi pasukan Inggris. Mereka terpotong-potong dan berada jauh dari logistiknya.

Berbeda dengan strategi yang dilaksanakan oleh Mansergh, yang mungkin telah mempelajari kekuatan dan kelemahan pasukan dan laskar rakyat, maka di samping menambah pasukan tempurnya yang berlipat ganda, ia juga lebih mengutamakan gerakan serentak secara total yang dibantu oleh segenap angkatan perangnya dan kemudian menjepit serta terus menggiring pasukan TKR ke arah luar kota agar tujuan utamanya menguasai kota Surabaya secara menyeluruh berhasil.

Rupanya pasukan TKR dan laskar rakyat masih menggunakan pola pertempuran lama, yaitu tetap bertujuan mengepung dan mengisolir, kemudian memutuskan hubungan dengan pasukan indukya kemudian baru menghancurkannya. Tetapi semua gerakan pasukan TKR dan laskar rakyat itu selalu tidak berhasil dan bahkan menimbulkan korban yang sangat besar. hal itu disebabkan karena gerakan pasukan Inggris selalu berlapis-lapis susunannya dan majunya selalu dibarengi oleh kekuatan lapis baja yang dibantu pula oleh serangan pesawat udaranya.

Melihat perkembangan pasukan TKR dan laskar rakyat yang sangat memprihatinkan, dan jumlah korban yang semakin besar, maka satu-satunya jalan yang harus ditempuh oleh mayjen Jonosewojo selaku komandan Divisi Surabaya, ialah segera memerintahkan seluruh pasukannya untuk segera mengundurkan diri ke daerah pinggiran kota Surabaya. Kecuali itu strategi untuk mengepung seluruh pasukan Inggris diubah, tidak lagi mengepung pemusatan-pemusatan pasukan Inggris lagi karena kekuatan mereka berlapi-lapis jumlahnya, karena itu dilakukan strategi yang kedua, yaitu mengepung kota Surabaya dengan melakukan perang gerilya sebagai lanjutan dari strategi perang kota yang boleh dikatakan gagal total.

Untuk mengadakan hubungan dan koordinasi antar pasukan yang banyak terpukul oleh gerakan pasukan Inggris sangatlah tidak mudah. Banyak kesulitan yang dialami, karena untuk mencari induk pasukan yang sudah berpisah dengan anak pasukannya kadang-kadang memerlukan waktu lama dan terpaksa harus menerobos jepitan-jepitan yang telah dilakukan oleh pasukan Inggris.

Akhirnya setelah pasukan TKR dan laskar pemuda Surabaya bertempur melawan pasukan Inggris yang ternyata didalamnya ikut pula pasuka NICA yang telah dilatih di Amerika Serikat, yang memakan waktu lebih dari tiga minggu, berhasil mengadakan konsolidasi kembali dan mempertahankan kota Surabaya dari pinggiran kota saja.

Dengan datangnya pasukan dari utara maka kekuatan Batalion Bambang Joewono, Batalion Darmosoegondo, Batalion Sawunggaling, Batalion Moh. Isa Edris dan laskar rakyat yang ditugaskan untuk menahan laju pasukan Inggris dengan batas Sungai Sepanjang dan Sungai Wonokromo akhirnya menjadi semakin kuat.

Setelah pasukan TKR mengadakan pertempuran tanpa henti untuk memertahankan kota Surabaya selama lebih dari tiga minggu, akhirnya terpaksa harus mundur dari dalam kota belum menurun, tetapi posisi berbalik menjadi pihak yang selalu diserang oleh Sekutu. Pertempuran-pertempuran di pinggiran kota pun makin hebat dan meluas hinga akhirnya perang yang bersifat frontal menjadi perang gerilya.

Pertempuran Ambarawa

Pertempuran yang terjadi antar pasukan TKR dan pemuda melawan pasukan Inggris ini berlangsung sejak tanggal 20 November 1945 sampai 15 Desember 1945. Pertempuran ini dipicu oleh pelangaran kesepakatan pihak tentara serikat dalam perjanjian dengan pihak TKR. Peristiwa itu berawal saat pasukan serikat yang masuk ke wilayah RI diperkenankan mengurus para tawanan perang. Namun yang dilakukanya justru mempersenjatai para tawanan perang tersebut. Setelah itu terjadi berbagai insiden yang terus meluas. Pada tangal 20 November 1945 di Ambarawa meletus pertempuran antara (di bawah pimpinan Mayor Sumarto) melawan pasuka serikat. Pihak serikat memperkuat pasukan mereka dengan mendatangkan personil ke Ambarawa. Pertempuran dalam kota terjadi pada tanggal 22 November 1945. Bantuan pasukan juga berdatangan ke lokasi pertempuran anatar lain batalyon 10 Divisi III, Batalyon 8, dll. Strategi yang dilakukan pasukan TKR berhasil mengepung musuh. Namun musuh melakukan sebuah strategi melambung yang mengancam kedudukan pasukan TKR. Semua elemen berdatangan seperti batalyon dari Yogyakarta, batalyon Polisis Istimewa, dll. mereka dapat menahan musuh sampai ke desa Jambu. Di desa Jambu mereka membentuk suatu komando yang disebut Markas Pimpinan Pertempuran. Sejak saat itu medan Ambarawa dibagi menjadi empat sector dan koordinasi semua elemen berjalan sesuai koordinasi sehingga pasukan Indonesia semakin kuat. Kekuatan yang ikut bertempur saat itu terdiri dari 19 batalyon TKR dan beberapa batalyon badan perjuangan. Lama kelamaan kedudukan musuh semakin terjepit. Dan akhirnya pada tanggal 15 Desember 1945, musuh mulai meninggalkan kota Ambarawa.[8]

Penutup

Proklamasi adalah puncak perjuangan yang dilakukan oleh para pendiri bangsa. Pada hakikatnya, proklamasi adalah symbol terlepasnya segala belengu penjajahan yang telah lama dirasakan. Akan tetapi, setelah proklamasi bukan berarti Indonesia lepas dari segala permasalahan. Perjuangan awal kemerdekaan setelah proklamasi justru menjadi batu ujian sejauh mana perjuangan dan kesadaran berbangsa dari setiap rakyat. Ujian yang diterima Indonesia begitu besar. Rakyat dengan militansinya terus menerus melakukan perlawanan terhadap penjajahan. Perebutan kekuasan yang berakibat pada meletusnya berbagai pertempuran menjadi gambaran bahwa rintangan yang dihadapi Indonesia menjadi bangsa yang berdaulat begitu berat.

Selasa, 05 Agustus 2008

Isi Teks Asli Proklamasi

Isi Teks Proklamasi

Isi teks proklamasi kemerdekaan yang singkat ini adalah:

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta


Di sini ditulis tahun 05 karena ini sesuai dengan tahun Jepang yang kala itu adalah tahun 2605.

Naskah Otentik

Teks diatas merupakan hasil ketikan dari Sayuti Melik (atau Sajoeti Melik), salah seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan proklamasi.

Sementara naskah yang sebenarnya hasil gubahan Muh. Hatta, A. Soebardjo, dan dibantu oleh Ir. Soekarno sebagai pencatat. Adapun bunyi teks naskah otentik itu sebagai berikut:

Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Jakarta, hari 17, bulan 8, tahun 45
Wakil2 bangsa Indonesia.

Detik Proklamasi

Detik-detik Pembacaan Naskah Proklamasi

Naskah asli proklamasi yang ditempatkan di Monumen Nasional dengan bingkai
Naskah asli proklamasi yang ditempatkan di Monumen Nasional dengan bingkai[3]

Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di kediaman Soekarno, Jl. Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh bu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.

Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya.[4]. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.

Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.[5]


Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.

Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari otto iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.

Kemerdekaan

Latar belakang

Artikel ini bagian dari seri
Sejarah Indonesia
Sejarah Nusantara
Pra-Kolonial (sebelum 1602)
Pra-sejarah
Kerajaan Hindu-Buddha
Kerajaan Islam
Zaman kolonial (16021945)
Era Portugis
Era VOC
Era Belanda
Era Jepang (1942-1945)
Sejarah Republik Indonesia
Proklamasi (17 Agustus 1945)
Masa Transisi
Era Orde Lama
Demokrasi Terpimpin
Operasi Trikora (1960-1962)
Konfrontasi Indo-Malaya (19621965)
Gerakan 30 September 1965
Era Orde Baru
Gerakan Mahasiswa 1998
Era Reformasi
Tsunami di Aceh-Nias 2004
[Sunting]

Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima di Jepang, oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian BPUPKI berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritsu Zyunbi IInkai dalam bahasa Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.

Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang. Syahrir memberitahu penyair Chairil Anwar tentang dijatuhkannya bom atom di Nagasaki dan bahwa Jepang telah menerima ultimatum dari Sekutu untuk menyerah. Syahrir mengetahui hal itu melalui siaran radio luar negeri, yang ketika itu terlarang. Berita ini kemudian tersebar di lingkungan para pemuda terutama para pendukung Syahrir.

Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI.[1] Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.

Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat.

Sementara itu Syahrir menyiapkan pengikutnya yang bakal berdemonstrasi dan bahkan mungkin harus siap menghadapi bala tentara Jepang dalam hal mereka akan menggunakan kekerasan. Syahrir telah menyusun teks proklamasi dan telah dikirimkan ke seluruh Jawa untuk dicetak dan dibagi-bagikan.

Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang.

Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Belanda. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.

Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.

Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Maeda, di Jalan Imam Bonjol no. 1. Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 malam 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan UUD yang sehari sebelumnya telah disiapkan Hatta.

Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pengikut Syahrir. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.

[sunting] Peristiwa Rengasdengklok

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: peristiwa Rengasdengklok

Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, yang tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945. Bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka menculik Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, dan membawanya ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.

Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu - buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka langsung menuju ke rumah Laksamana Maeda di Jl. Imam Bonjol No. 1 (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi) yang diperkirakan aman dari Jepang. Sekitar 15 pemuda menuntut Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan melalui radio, disusul pengambilalihan kekuasaan. Mereka juga menolak rencana PPKI untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 16 Agustus.

[sunting] Pertemuan Soekarno/Hatta dengan Jenderal Yamamoto dan Laksamana Maeda

Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta, bertemu dengan Letnan Jenderal Moichiro Yamamoto, komandan Angkatan Darat pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda dengan sepengetahuan Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang. Dari komunikasi antara Hatta dan tangan kanan komandan Jepang di Jawa ini, Soekarno dan Hatta menjadi yakin bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu, dan tidak memiliki wewenang lagi untuk memberikan kemerdekaan.

Setelah itu mereka bermalam di kediaman Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No.1) untuk melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi. Rapat dihadiri oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo, Soekarni dan Sajuti Melik. Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut. Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56[2] (sekarang Jl. Proklamasi no. 1).

Sebelumnya para pemuda mengusulkan agar naskah proklamasi menyatakan semua aparat pemerintahan harus dikuasai oleh rakyat dari pihak asing yang masih menguasainya. Tetapi mayoritas anggota PPKI menolaknya dan disetujuilah naskah proklamasi seperti adanya hingga sekarang.

Para pemuda juga menuntut enam pemuda turut menandatangani proklamasi bersama Soekarno dan Hatta dan bukan para anggota PPKI. Para pemuda menganggap PPKI mewakili Jepang. Kompromi pun terwujud dengan membubuhkan anak kalimat "atas nama Bangsa Indonesia" Soekarno-Hatta.